Sejarah Kereta Api Menjadi KRL Di Bogor dan Stasiun Bogor

#Tags

Kereta  merupakan salah satu moda transportasi umum yang banyak diminati karena bisa jadi alternatif angkutan umum yang bebas dari kemacetan. Bagi orang Bogor sendiri, moda transportasi kereta yang kini menjadi KRL merupakan salah satu pilihan jika harus ke Jakarta setiap hari, begitu juga sebaliknya.

Sejarah Kereta Api Menjadi KRL Di Bogor

Kereta Api Bogor Jakarta Sebelum Kemerdekaan RI

Sebelum layanan kereta api ke Bogor dibangun, kereta api pertama kali digunakan di Jawa  tahun 1863, pada masa itu kereta api digunakan untuk mendukung perekonomian Hindia Belanda khususnya perdagangan hasil perkebunan untuk kepentingan ekspor setelah berlakunya sistem tanam paksa.

Jalur kereta api pertama yang pertama kali dibangun adalah jalur Semarang ke Yogyakarta. Setelah itu baru dibangun rute tahap dua yang menghubungkan Buitenzorg (Bogor) - Batavia (Jakarta) pada 1871. Pembangunan jalur ini dilakukan oleh Perusahaan Jawatan Kereta Api Belanda Nederlandch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Netherlands East-Indies Railway Company.


Pada awalnya, pemerintah Hindia Belanda memberi konsesi pada NIS untuk membangun jalur rel Semarang - Vorstenlanden (melintasi tanah kerajaan, kawasan Surakarta, Yogyakarta, dan daerah perkebunan yang subur). Salah satu syarat konsesi adalah membangun jalur kereta ke Ambarawa untuk kepentingan militer. Tahap ini dimulai setelah pencangkulan pertama pembangunan rel oleh Gubernur Jenderal Mr. J.A.J. Baron Sloet van den Beele sampai diresmikan oleh Gubernur Jenderal Mr.J. Loudon.

Pada tahun 1869, dimulai pembangunan jalur kereta api sejauh 56 km dari pelabuhan Sunda Kelapa (Stasiun Pasat Ikan) ke Buitenzorg (Bogor) oleh NIS. Pembangunan jalur tersebut memakan waktu dua tahun, dan rute Bogor- Jakarta baru dibuka pada 31 Januari 1873. Jalur kereta api ini mendukung arus perdagangan dari Bogor dan daerah sekitarnya ke Jakarta. Tapi jalur ini terisolasi dengan jalur milik NIS lain yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

kereta api pertama BOgor
Stasiun Bogor | Sumber :Tropen Museum

Baru pada tahun 1875, Pemerintah Hindia Belanda memulai pembangunan jalur kereta api baru tersebut.  Langkah awal,  pemerintah  Hindia Belanda mendirikan perusahaan kereta api Staatspoor-en Tramwegen in Nederlandsh-Indische. Perusahaan ini kemudian membeli jalur Bogor-Jakarta yang sebelumnya dimiliki oleh NIS, lalu memulai pembangunan jalur baru dari Bogor hingga ke Cicurug, Sukabumi.


Di masa itu, persaingan antar bisnis jalur transportasi rel semakin ketat, terhitung ada beberapa maskapai yang menangani hal tersebut seperti BOS, SS, NITM dan lain-lain. Pada tahun 1913, NIS menjual jalur Batavia-Buitenzorg ke perusahaan Staatspooregen (SS), dan memilih untuk berkonsentrasi mengurusi bisnisnya yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hasil penjualan jalur tersebut digunakan untuk membangun jalur trem dari Solo hingga ke Wonogiri dan Boyolali. Pada awalnya, hanya ada satu stasion Batavia yaitu stasiun NIS, namun setelah 1914, Batavia Ooster Spoorwegen (BOS) membangun stasiun baru di sebelah selatan stasiun NIS yang kelak bernama stasiun Kota. Untuk membedakan, keduanya diberi nama berbeda Noord-station untuk NIS dan Zuid-station untuk BOS. Setelah kedua stasiun ini dibeli oleh SS, maka stasiun milik NIS dibongkar.

Pada tahun 1888, jalur dari Sukabumi ini telah terhubung dengan daerah Cilacap di Jawa Tengah. Stasiun Cicurug, Sukabumi sekitar tahun 1946. 

BACA JUGA :

Jadwal Baru Kereta Api Pangrango Bogor-Sukabumi Mulai Tanggal 17 Mei 2022

Setelah masuknya listrik ke Bogor, pada tahun 1925, kereta api bahan bakar batubara dan diesel mulai menggunakan tenaga listrik. Jalur rel Batavia-Buitenzorg kemudian dilengkapi dengan kabel-kabel listrik yang membentang sepanjang jalur. Kapasitasnya waktu itu adalah 1500 Volts DC. 


Untuk mendukung transportasi rel listrik, maka pada ulang tahun Staatsspoorwegen (SS) yang ke-15, kereta api listrik mulai digunakan.


KRL Bogor - Jakarta Pasca Kemerdekaan

Jalur kereta denan sinyal listrik tersebut terus digunakan dan diperluas wilayah operasionalnya sejak kemerdekaan Indonesia. Pengoperasian jalur kereta api di Indonesia dilaksanakan oleh Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKA) hingga era PT Kereta Api Indonesia pada saat ini.


Pada tahun 1960-an, transportasi di Jakarta berada di titik nadir. Soekarno memerintahkan Gubernur Sudiro untuk menghapus trem listrik karena dianggap menyebabkan kemacetan. Akhirnya pada tahun 1960, trem sepenuhnya berhenti beroperasi di Jakarta. Kereta listrik pun ikut dihentikan operasinya akhir 1965. Selanjutnya pada November 1966, seluruh pengangkutan kereta api jurusan Manggarai–Jakarta Kota dibatasi. Hal ini berkaitan dengan merosot tajamnya jumlah penumpang dan kondisi umum kota Jakarta yang tidak kondusif. Biro Pusat Statistik mencatat, jumlah penumpang lokal yang dilayani Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) tahun 1965 merosot 47 persen dibandingkan 1963. Tahun 1965, hanya 16.092 penumpang per hari yang memakai kereta lokal. emenjak kereta listrik buatan Belanda tidak dapat beroperasi lagi, rute ini terkadang digunakan oleh kereta lokal yang menggunakan lokomotif, biasanya seri BB 200 atau BB 201 digunakan sebagai penariknya.

Baru pada tahun 1972, kereta listrik mulai muncul kembali. Harian Kompas tanggal 16 Mei 1972 memberitakan bahwa PNKA memesan 10 set kereta listrik dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan Jakarta. Langkah ini untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum dan mengurangi kemacetan yang mulai terasa saat itu.

Pemandangan umum di stasiun KRL sebelum era Commuter Line tahun 2013


KRL dan kereta rel diesel (KRD) dari Jepang tiba di Jakarta empat tahun kemudian, 1976. KRL-KRL ini akan menggantikan lokomotif listrik lama peninggalan Belanda yang sudah dianggap tidak layak. Tiap rangkaian KRL terdiri atas empat kereta dengan kapasitas angkut 134 penumpang per kereta.KRL generasi pertama ini kemudian dikenal sebagai KRL Rheostatik dan telah melayani masyarakat Jakarta hingga akhir pengoperasian KRL Ekonomi pada tahun 2013.


Pada Mei 2000, pemerintah Jepang melalui JICA dan Pemerintah Kota Tokyo menghibahkan 72 unit KRL bekas yang sebelumnya dioperasikan oleh Biro Transportasi Metropolitan Tokyo. Kereta ini diresmikan pada tanggal 25 Agustus 2000 dan menjadi KRL berpendingin udara (AC) pertama di Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia rutin mendatangkan KRL bekas Jepang untuk memperkuat armada KRL di Jakarta.

Pergantian Operasional

Pada tahun 2008 dibentuk anak perusahaan PT KA, yakni PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), yang fokus pada pengoperasian jalur kereta listrik di wilayah Daerah Operasional (DAOP) 1 Jabotabek, yang saat itu memiliki 37 rute kereta yang melayani wilayah Jakarta Raya. Anak perusahaan baru ini merupakan suksesor dari Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek yang telah berdiri sebelumnya. PT KCJ memulai proyek modernisasi angkutan KRL pada tahun 2011, dengan menyederhanakan rute yang ada menjadi 5 rute utama, penghapusan KRL komuter ekspres, penerapan gerbong khusus wanita, dan mengubah nama KRL ekonomi-AC menjadi Kereta Commuter. Proyek ini dilanjutkan dengan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta, serta penempatan satuan keamanan pada tiap gerbong. Saat Stasiun Tanjung Priuk diresmikan kembali setelah dilakukan renovasi total pada tahun 2009, jalur kereta listrik bertambah menjadi 6, walaupun belum sepenuhnya beroperasi. Pada Juli 2013, PT KCJ mulai menerapkan sistem tiket elektronik COMMET (Commuter Electronic Ticketing) dan perubahan sistem tarif kereta.

KRL jabodetabek

 Pada tahun 2017, PT KAI Commuter Jabodetabek berganti nama menjadi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), 3 hari setelah ulang tahun perusahaan tersebut yang ke-9. Perubahan nama ini juga mewadahi penugasan penyelenggaraan kereta api komuter yang lebih luas di seluruh Indonesia, sehingga nantinya jalur KRL Commuter Line di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya bukan lagi satu-satunya jalur kereta api perkotaan yang dioperasikan oleh PT KCI.  

BACA JUGA :

Peta Rute KRL Dan Jadwal KRL Bogor Jakarta : Tautan dan Cara Unduh - Mulai 28 Mei 2022

 

Sejarah Stasiun Bogor

Konsesi politik antara NIS dengan pemerintah Hindia Belanda menjadikan stasiun Bogor sebagai tempat persinggahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum pulang ke Istana Bogor. Pada masa itu, hanya dua stasiun yang sengaja didesain untuk Gubernur Jenderal, yaitu Stasiun Bogor dan Stasiun Jebres di Solo. Stasiun Bogor dibangun oleh perusahaan Staatsspoorwegen (SS) sekitar tahun 1872 sebagai tujuan akhir jalur Batavia-Buitenzorg.

Pada tahun 1880, stasiun ini mengalami perluasan sampai kemudian diresmikan pada 5 Oktober 1881 dan stasiun transit untuk Gubernur Jenderal. Terlebih lagi sejak 1870, Istana Bogor sudah menjadi tempat tinggal Gubernur Jenderal sampai kedatangan Jepang pada tahun 1942.

Desain stasiun Bogor memiliki gaya Eropa dengan berbagai motif, seperti motif geometris awan, kaki-kaki singa, dan relung-relung di bagian lantainya. Motif mewah ini sengaja dipilih karena stasiun ini sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal dan para pejabat tinggi pemerintah kolonial yang baru datang atau akan berangkat ke Batavia. Desain tangga kayu yan meliuk-liuk menghubungkan lantai dasar dengan lantai 2.

Karakter bangunan utama khas bergaya Indische Empire dengan lobi bergaya Neoklasik. Bagian atap menggunakan desain emplasemen atau kanopi / overkapping yang membentang lebar dengan rangka baja dan penutup atap menggunakan besi bergelombang. Di ruangan utama terdapat sebuah monumen prasasti yang terbuat dari marmer setinggi 1 meter yang dibuat oleh para karyawan SS untuk menghormati David Maarschalk yang memasuki masa pensiun atas jasanya mengembangkan jalur kereta api di Jawa.

Halaman luas yang berada di depan stasiun Bogor dirombak menjadi sebuah taman yang hijau. Meski dinamakan Taman Stasiun atau Station park, namun oleh sebagian orang taman ini dikenal juga dengan sebutan Taman Wilhelmina karena keindahannya yang menyerupai taman yang populer di Batavia, yang sudah terlebih dulu dibangun


Sekitar tahun 2009, kementerian Perhubungan melakukan renovasi Stasiun Bogor dari yang sebelumnya menghadap ke Jln Nyi Raja Permas atau Taman Topi, kini menghadap ke arah Jalan Mayor Oking (Muria Plaza). Perubahan masih terus dilakukan termasuk sejak era Commuterline hingga kini penumpang hanya cukup melakuka tap kartu untuk masuk sebagai pengganti tiket, termasuk perubahan untuk koneksi alun alun Bogor yang dibuka.

>

 BACA JUGA :

Tentang Alun-Alun Kota Bogor dan Kegiatan Yang Bisa Dilakukan Di Lokasi