Sejarah Istana Batu Tulis Bogor

#Tags

Bogor dikenal memiliki banyak lokasi yang berkaitan dengan sejarah.  Salah satunya yakni Istana Batu Tulis.  Istana Batu Tulis merupakan salah satu tempat bersejarah yang berkaitan erat dengan presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno.

Jika berjalan ke Jalan Batutulis Kecamatan Bogor Selatan, Bogor, Jawa Barat, tidak jauh dai situs bersejarah lainnya yaitu prasastai Batu Tulis,  barangkali tak ada yang mengira di atas lahan seluas 3,8 hektare di sepanjang jalan tersebut, yang dikelilingi oleh tembok bercat putih dan pagar hitam yang jarang-jarang, berdiri sebuah bangunan kokoh yang dikenal dengan sebutan Istana Batu tulis.


Sebab dari luar pagar, yang mencolok justru rindang pepohonan yang mengelilingi area tersebut. Saat melongok lebih dekat di balik pagar hitam, yang terlihat pos penjagaan, pendopo dan luasnya lahan dengan aneka bunga dan rupa-rupa tumbuhan serta kolam. Tentu selain bangunan Istana yang menjorok lebih dalam, tak ada yang tahu ada apa di dalam istana tersebut. Tak banyak yang tahu isi di Istana tersebut selain cerita lokasi tersebut dulunya adalah tempat peristirahatan sang proklamator bangsa ini di akhir jabatannya.

Istana Batu tulis memang terlihat misterius, sehingga terlihat "kontras" dibandingkan dengan  riuh pikuk aktivitas warga di hadapannya. Riuhnya anak-anak Sekolah Dasar 02 Batu Tulis yang berada di seberang Istana, banyaknya penjaja makanan gerobak, dan lalu lalangnya kendaraan yang melintasi jalanan tersebut seakan tak peduli dengan kehadiran Istana tersebut.


Mengayunkan kaki di trotoar depan Istana akan menyimpan pertanyaan sendiri di tengah ketidakpedulian orang-orang di sekitar. Rasa penasaran membuat kepala akan celingak-celinguk menatap isi di balik pagar yang tertutup rapat, memandang penjagaan yang terlihat kosong.
 


Sejarah Istana Batu Tulis

Istana Batu Tulis didirikan sebagai rumah peristirahatan Bung Karno untuk menikmati sejuknya udara Kota Bogor. Namun, tempat peristirahatan ini kemudian menjadi rumah pengasingan bagi sang proklamator setelah rezim Orde Baru berkuasa. Saat itu, komplek istana seluas 3,8 hektar dikuasai pemerintah Orde Baru di masa.

Namun sebenarnnya, sejarah istana batutulis bermula dari setelah dibukanya hutan larangan oleh Letnan Tanoedjiwa di dekat aliran Sungai Ciliwung dan mendirikan perkampungan pekerja yang dinamakan Kampung Baru. Letusan gunung Salak yang terjadi di tahun 1699 menyisakan kerusakan di beberapa bagian Buitenzorg, sebutan Bogor pada masa itu.


Saat terjadinya letusan gunung sSalak di awal tahun 1699, Belanda mengirim Van Riebeeck vulkanologi untuk melakukan penelitian dampak letusan. Sebuah catatan tahun 1702 menggambarkan dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja yang disebut Pakuan, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka tanpa pepohonan sama sekali.

Sedemikian dahsyatnya letusan Gunung Salak, sehingga aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat tertutup lumpur letusan Gunung. Tidak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu.

Namun demikian, pada 1701 penduduk Kampung Baru diceritakan masih dapat mengantar Ram & Coops ahli vulkanologi Belanda itu. Ini berarti letusan Gunung Salak tidak sampai memusnahkan penduduk Bogor.

Untuk membersihkan dampak yang ditimbulkan oleh gempa besar tersebut, pada tahun 1702 VOC menugaskan Abraham van Riebeeck untuk membersihkan sumbatan-sumbatan di Sungai Ciliwung yang dulu menjadi sumber air bersih untuk kebutuhan VOC di Batavia. Atas jasanya itu, Riebeeck meminta imbalan berupa tanah di Bojong Manggis dan Bojong Gede, termasuk di Buitenzorg. Pada tahun 1704, ia kemudian mendirikan rumah peristirahatan kecil di sekitar Batutulis. Sampai era kemerdekaan, rumah peristirahatan van Riebeeck masih tetap berdiri, namun lahan-lahan di sekitarnya telah berubah menjadi sebuah perkampungan.

Pada tahun 1960-an, Bung Karno membeli lahan perkampungan itu untuk digunakan sebagai rumah peristirahatan kala ia bertugas di Istana Bogor sebagai Presiden Republik Indonesia. Untuk memilih lokasi yang akan dijadikan rumah peristirahatan yang diinginkan, Bung Karno berkeliling kota Bogor dengan menggunakan pesawat helikopter. Di atas kawasan Batutulis, pandangannya terhenti pada hamparan tanah yang dibawahnya terdapat aliran Sungai Cisadane dengan pemandangan terbaik ke arah Gunung Salak.

Daerah Batutulis pada tahun 1881 Lahan yang menjadi perkampungan kecil itu dulunya pernah ditempati Abraham van Riebeeck saat berkunjung ke Buitenzorg tahn 1702. Selain karena pemandangannya yang sangat indah, daerah Batutulis juga memiliki nilai-nilai historis mengenai keberadaan Keraton Pakuan Pajajaran yang dulu pernah berkuasa di Tatar Sunda dan juga letak Prasasti Batutulis ditemukan.

Atas dasar itulah, Bung Karno kemudian membeli lahan perkampungan itu, lalu menugaskan arsitek R.M. Soedarsono di tahun 1961 untuk merancang sebuah rumah yang akan digunakannya sebagai rumah tinggal dan peristirahatannya. Istana Batutulis diberinama Hing Puri Bima Cakti dengan ciri arsitektur yang sama dengan Istana Tampaksiring di Bali yang juga merupakan hasil rancangan Soedarsono pada tahun 1952.

Istana Batutulis adalah tempat peristirahatan favorit Bung Karno setelah Tampaksiring. Di sini, beliau dapat memperhatikan kesibukan rakyatnya dari balkon istana. Pemandangannya pun sangat indah dengan aliran sungai Cisadane yang masih bening, belum bercampur limbah dan sampah juga Gunung Salak yang terlihat gagah. Tak jarang, Bung Karno juga sering bercengkerama dengan penduduk sekitar istana. Konon, sebelum meninggal dunia, Bung karno menghendaki Istana Batu Tulis menjadi tempat peristirahatan terakhir baginya untuk dimakamkan di samping sebuah batu dan pohon besar yang ada di dalam lingkungan Istana. 


Namun, setelah Bung Karno tersingkir oleh Orde Baru, istana Batutulis menjadi tempat pengasingannya. Di sini, Soekarno tidak diperkenankan untuk bertemu siapapun termasuk rakyatnya.

Alih-alih memenuhi wasiat Bung Karno, pemerintahan Orde Baru yang saat itu berkuasa malah mengeluarkan Keppres RI Nomor 44 Tahun 1970 yang memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Bung Karno. Istana ini pun kemudian diambil alih oleh pemerintah Orde Baru.

Pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, menjabat sebagai Presiden, status Istana Batutulis dikembalikan kepada keluarga Bung Karno, yaitu tepatnya pada 17 Agustus 2000.