Perbedaan Aing, Urang, Kuring, dan Abdi Dalam Bahasa Sunda

#Tags

Dalam bahasa Indonesia, kata "aku", "saya", "beta", merupakan penyebutan untuk kata ganti orang pertama, atau cara untuk memanggil diri sendiri. Hal yang sama juga ada dalam bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda, untuuk menyebut "saya" / "aku", bisa menggunakan  kata "abdi, "urang", "aing. Tapi tidak sembarangan loh penyebutannya.


 ABDI", "urang", dan "aing" secara umum adalah kata ganti pertama tunggal dalam bahasa Sunda. Namun terdapat perbedaan terkait tingkatan atau undak-usuk basa-nya, yaitu bahasa halus untuk diri sendiri, bahasa halus untuk orang lain (keduanya bahasa lêmês dan bersifat formal), bahasa akrab (loma, informal), dan kasar (cohag).

Abdi

"Abdi" termasuk bahasa halus, sopan, dan formal, antara lain digunakan saat berbicara dengan orang tua, seperti ayah, ibu, kakek, dan guru, atau; orang yang lebih tua dan lebih tinggi posisinya dari kita, seperti kakak, kakak sepupu, kakak kelas, atasan, pejabat; Tuhan, serta; orang lain atau masyarakat umum.

Contoh kalimat,

  • "Bapa tuang, abdi neda." (Bapak makan, saya pun makan). Ya, ada perbedaan pemilihan kosakata halus antara "makan" untuk diri sendiri dan "makan" untuk orang tua, dsb. Namun itu akan dibahas pada kesempatan lain.
  • "Bapa ménéjer nembé sumping, abdi parantos dongkap ti énjing." (Bapak Manajer baru tiba, saya sudah tiba sejak pagi). Kata ganti "abdi" kali ini digunakan di hadapan atasan.
  • "Alhamdulillah, dinten ieu sim abdi tiasa ngadeg payuneun Bapa sareng Ibu sadayana." (Alhamdulillah, hari ini saya bisa berdiri di hadapan Bapak dan Ibu sekalian). Kata "abdi" digunakan sebagai pidato di hadapan masyarakat umum.
  • "Punten, Kang. Abdi badé ngiring tumaros." (Permisi, Kang. Saya mau numpang tanya). Kata ganti "abdi" digunakan sebagai bahasa formal dengan orang asing.
  • "Mugi Gusti ngahapunten samudaya dosa sareng kalepatan abdi." (Semoga Tuhan mengampuni segala dosa dan kesalahanku). Selain "abdi", ada juga kata "kula"/"kaula" yang digunakan di hadapan Tuhan atau raja.


Sementara itu, kata "abdi" dalam percakapan sehari-hari kadang mengalami perubahan pelafalan menjadi "abi" sebagai bentuk variasinya, biasanya diucapkan oleh anak-anak. Selain itu, orang Sunda juga terbiasa menyebutkan nama diri sebagai kata ganti dalam percakapan sopan di lingkungan rumah.


Contoh dialog,

  •  Asép, "Naha da ieu mah icis abi pamasihan Apa." (Ini uangku kok pemberian Bapak).
  • Néng, "Atuh icis Néng ningan teu aya ka mana?" (Lalu uang Neng ke mana dong, kok enggak ada?)


Jadi, kalau anak-anak itu seperti ada bahasanya tersendiri, semacam pelafalan cadel/manja mereka, seperti "icis" (uang), "apa" (bapak), dan "abi" tadi. Kalau bahasa Jawa misalnya "pakpung" (mandi).

Urang

Kata "urang" agaknya mengalami pergeseran makna sebagai kata ganti pertama tunggal. Karena kata "urang" sejatinya adalah kata ganti pertama jamak atau "kita" dalam bahasa Indonesia.

Contoh,

  • Akang, "Nyi, ari si Néng budak urang ka mana euweuh balik?" (Nyi, anak kita si Neng ke mana kok belum pulang?) Kata "budak urang" di sini berarti "anak kita".
  •  Nyai memanggil Neng, "Néng, uih, engké deui amengna urang aremam heula!" (Neng, pulang yuk, nanti lagi mainnya, kita makan [bareng] dulu!) Kata "urang" di sini lagi-lagi jamak dan bersifat ajakan untuk melakukan sesuatu bersama-sama.


Uniknya, kata "urang" bukan hanya dapat berarti "saya" dan "kita", tetapi juga "kamu" dalam percakapan loma.

Contoh,
"Geus sabaraha budak urang?" (Sudah berapa anakmu?)

Hal ini kupikir sebagai bentuk simpati orang Sunda kepada kawan atau kerabatnya yang lebih muda.

"Sudah dua," jawab sang kawan, misalnya.

Maka si penanya akan turut merasakan posisi lawan bicara seakan-akan memiliki anak dua. Istilahnya, anak-anakmu adalah "anak-anakku" juga, dalam artian punya tanggung jawab untuk turut mengasihi mereka. Biasanya diikuti dengan memberi uang atau hadiah kepada anak-anak si kawan.

Contoh lain,

  1. "Urang kudu tawekal ditinggalkeun maot ku kolot téh. (Kita [khususnya kamu] harus tawakal ditinggal mati orang tua). Si teman yang menghadapi musibah, tetapi nasihat agar tawakal menggunakan kata ganti "urang" yang secara praktis menjadi bentuk simpati tanpa kesan menggurui.
  2. Contoh lain lagi, "Ieu mah antara urang jeung urang wé." (Biarlah ini menjadi [rahasia] aku dan kamu."


Selain itu, kata "urang" juga memiliki makna lain, yaitu "orang".

Contoh,

  1. "Abdi mah pituin urang Sumedang." (Saya asli orang Sumedang).
  2. "Sabaraha urang nu rék ngilu ka Cirebon, téh? (Berapa orang yang akan ikut pergi ke Cirebon?)


Adapun "urang" dalam bahasa Cirebon dan bahasa Sunda dialek timur berarti "udang".

Nah, sekarang kita gabungkan semua makna kata "urang" dalam satu kalimat,
"Ari urang aya duit mah urang ulin dua urang ka urang Cirebon ngala urang jeung urang." (Kalau memang kamu ada uang, kita main berdua ke si orang Cirebon mencari udang denganku, he-he).

Kuring

Kata ganti pertama tunggal yang sebenarnya dan tidak memiliki arti lain adalah "kuring". Namun kata ini kalah familiar dibandingkan dengan "urang" saat ini. Di sebagian daerah masih ada yang menggunakan kata "kuring" atau variasinya yaitu "uing". Bahkan ada juga "déwék", "kami", "di dieu" (secara harfiah berarti "di sini"), dan "saya" (bahasa Sunda bala-bala).

Contoh,

  1. "Nepangkeun, wasta sim kuring Asép." (Perkenalkan, nama saya Asep).
  2.  "Uing peurih beuteung can nyarap pisan." (Aku lapar belum sarapan sama sekali).
  3.  "Dewek gé acan." (Aku juga belum)
  4.  "Kami mah karek dahar bieu." (Kalau aku sih barusan makan).


Kata ganti orang pertama juga tentu harus sepadan dengan lawan katanya. Contoh,

  1. Abdi/kuring - anjeun/salira
  2. Urang - manéh/silaing
  3. Aing - sia


Karena kalau tidak, akan terdengar ganjil.

Contoh dialog,

  • "Bapa punten, kersa ka palih gigir sakedik, abdi teu katingal nongton tipina kahalangan ku tangkurak sia."
  • "Oh, muhun atuh. Mangga tah ténjo ku siki kanjut sia."
  • "Siki soca panginten, Ndul."


Aing

"Aing" dalam bahasa Sunda dialek Priangan merupakan bahasa kasar (cohag, garihal), meskipun agaknya kini mengalami pergeseran makna sebagai bahasa akrab (loma). Namun tidak demikian halnya di wilayah yang tidak mengenal undak-usuk seperti dialek Bantenan (berikut Badui), Pantura, dsk. "aing" adalah kata yang egaliter.

Konon justru kata "aing" inilah bahasa Sunda yang asli/murni, karena tidak terpapar pengaruh Jawa (Mataram). Dialek Badui menyebutnya "ngaing". Lawan katanya "sia" (tunggal) dan "saria" (jamak). Dialek Badui menyebutnya "dia" dan "daria".

BACA JUGA:

Sekilas Belajar Bahasa Sunda Sehari Hari di Bogor dan Artinya
Nama Anggota Tubuh Dalam Bahasa Sunda Akrab dan Bahasa Sunda Lemes

Contoh,

  1. "Saria ulah nyalutak teuing ka aing, bisi ditigras tah tihang kopéah sia!" (Kalian jangan kurang ajar padaku, kalau tidak mau kutebas tiang peci kamu semua!) Bentuk kasar, "tiang peci" maksudnya leher.
  2. "Kakara aing nénjo sia ngadat bari ngacong-ngacong bedog kitu, lur." (Baru kali ini kulihat kamu ngamuk sampai mengangkat-angkat golok begitu, bro). Bentuk loma kali ini.
  3. "Ah, kabeneran keur kaluman we, he-he." (Ah, kebetulan lagi suntuk aja, he-he).


Sumber : Misael A. Husin (https://id.quora.com/profile/Misael-A-Husin)