Sejarah Kawasan Kecamatan Dramaga

#Tags

Dramaga merupakan salah satu wilayah kecamatan di kabupaten Bogor saat ini. Asal usul nama Dramaga, Kota Bogor, masih jarang diketahui. Bahkan di kalangan masyarakat Bogor, masih terdapat perbedaan pandangan mengenai asal usul pemberian nama tersebut. Dari sisi penyebutan, juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah Darmaga, Dramaga, atau Dermaga? Namun demikian, buat masyarakat Bogor, lebih memilih menggunakan kata yang menurut mereka masing-masing mudah dan enak didengar, baik itu Darmaga, Dermaga, maupun Dramaga. Tetapi, penyebutan paling populer dan banyak digunakan oleh masyarakat umum adalah Dramaga. Secara resmi juga,  website-website pemerintah saat ini, dan papan penunjuk resmi jalan menulis Dramaga. 

Prasasti Dermaga

Namun, memang pernah pula tulisan Dermaga muncul dalam penulisan resmi kawasan ini, sebagaimana gambar di atas.

Kawasan Dramaga bukanlah kawasan yang baru ada setelah Indonesia merdeka. Sejarah Dramaga sebagai kota tua, sudah dipublikasikan pada tahun 1772 oleh Josh Rach. Kota pertama yang terbentuk di hulu sungai Tangerang/sungai Cisadane adalah kota Ciampea dimana benteng VOC dibangun pada tahun 1710. Dari kota Ciampea kemudian muncul kota-kota baru seperti Dramaga, Leuwiliang, Djasinga dan Cigudeg. Dalam hal ini munculnya kota Dramaga sebagai perkembangan lebih lanjut dari keberadaan Kota Ciampea.

Dramaga tempo dulu tidak bisa dipisahkan dengan nama seorang tuan tanah besar yang pernah menguasai hampir seluruh wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Dia adalah Gerrit Willem Casimir (GWC) Van Motman yang lahir pada 17 Januari 1773, dan meninggal di Dramaga 25 Mei 1821. 

Van Motman adalah anak bungsu dari keluarga yang sebagian besar anggotanya meninggal dunia karena penyakit TBC. Saat negaranya diinvasi Perancis, Van Motman dalam usia 17 tahun mencoba peruntungan bergabung dengan VOC, hingga sampailah ia ke Hindia Belanda untuk memulai karier sebagai administrator gudang VOC. 

Setelah VOC bangkrut karena korupsi, Van Motman menjadi tuan tanah yang menguasai sekitar 117.099 hektare tanah di wilayah Buitenzorg. Luasnya tanah itu sebagian besar dijadikan lahan perkebunan oleh tuan Motman ini. Jika dilihat sekarang, Kota Bogor memiliki luas wilayah 11.850 hektare dan itu artinya, Van Motman menguasai hampir seluruh tanah di Kota dan Kabupaten Bogor pada masa lalu.

Semasa hidupnya, van Motman memiliki rumah tinggal di daerah Dramaga yang dinamakannya Groot Dramaga atau Dramaga Besar. Selain itu, nama lainnya dalah landhuis Dramaga. 

Landhuis Dramaga
 

Bangunan tersebut, masih ada dan dilestarikan hingga saat ini. Rumah peninggalan van Motman masih bisa ditemukan di lokasi yang sama, dan difungsikan sebagai wisma tamu IPB.


 Landhuis atau Groot Darmaga ini setelah menjadi milik Negara Indonesia, pernah ditinggali oleh Presiden Soekarno, dan sering berkunjung ke Landhuis. Pada tahun 1960 menjadi asrama mahasiswi IPB, pada tahun 1980 menjadi kantor dekan FATEMETA atau yang saat ini disebut Fateta (Fakultas Teknologi pertanian), tahun 1990 menjadi kantor proyek pembangunan kampus baru Darmaga, dan kemudian pada tahun 1996 menjadi rumah dinas Rektor. Terakhir Landhuis menjadi wisma tamu dan klub Dosen IPB. Saat ini di dalam salah satu lorong di Landhuis terpampang tulisan Prof Syamso’oed Sajad yang dimuat di Koran nasional, yang berisi mengenai “Jiwa Pionir seorang Motman perlu disadap” menjadi sebuah pembelajaran dan dijiwai oleh mahasiswa dan lulusan IPB.


Sebelum menjadi kecamatan sebagai saat artikel ini ditulis, sekitar tahun 1988, Drama masih dalam status desa. Pada tahun 1989, Kampus IPB Bogor relokasi dari Kota Bogor ke Kabupaten Bogor di Dramaga. Saat itu desa Dramaga tengah persiapan untuk pemisahan desa Dramaga dari kecamatan Ciomas dalam pembentukan kecamatan baru (Kecamatan Dramaga). Pembentukan Kecamatan Dramaga sendiri baru terlaksana pada tahun 1997. Kini, Kecamatan Dramaga bersama 13 kecamatan lainnya akan membentuk Kabupaten Bogor Barat, Tiga belas kecamatan lainnya itu adalah Ciampea, Parung Panjang, Tenjolaya, Pamijahan, Cibungbulang, Rumpin, Tenjo, Sukajaya, Jasinga, Nanggung, Cigudeg, Leuwisadeng dan Leuwiliang.

Sebelum terbentuk Kecamatan Dramaga tahun 1997, desa Dramaga termasuk wilayah Kecamatan Ciomas. Namun sejatinya di masa lampau di era VOC, Dramaga adalah wilayah yang terpisah dari Ciomas dan wilayah Dramaga justru lebih terintegrasi (menyatu) dengan wilayah Ciampea. Dengan kata lain, masuknya Kecamatan Dramaga kemudian dalam Kabupaten Bogor Barat pada dasarnya sudah diperhitungkan sejak era VOC sebagai satu kesatuan wilayah baik secara spasial ekonomi maupun geografis wilayah. 

BACA JUGA:

KABUPATEN BOGOR BARAT SUDAH DIDUKUNG, CALON IBUKOTA MASIH BELUM JELAS ANTARA CIGUDEG ATAU RUMPIN


Awal Mula Dramaga

Area tanah Dramaga dibentuk oleh pemerintah VOC pada tahun 1778. Batas land Dramaga ini antara sungai Ciomas di timur (di Sindang Barang yang sekarang) dan sungai Ciapus di barat (batas sebelah barat kampus IPB yang sekarang). Dengan kata lain Land Dramaga ini di timur berbatasan dengan land Ciomas dan sementara di barat berbatasan dengan kawasn tanah  Ciampea; sedangkan di sisi utara berbatasan langsung dengan sungai Cisadane.

Pada tahun 1808 land Dramaga ini diketahui telah dimiliki oleh GWC van Motman. Setelah kematian GWC van Motman tahun 1821 sempat dijual oleh sang istri untuk membesarkan empat anak di Batavia, tetapi oleh anak-anaknya setelah dewasa membeli kembali land Dramaga pada tahun 1846. Pada saat pembelian kembali land Dramaga ini landhuis baru dibangun di lokasi yang baru (yang kini menjadi Wisma Tamu IPB di tengah kampus IPB Dramaga). Landhuis yang lama berada di sisi barat sungai Cihideung (lokasinya kini di dekat jembatan jalan raya Bogor-Dramaga, simpang ke arah desa Petir). Pembangunan baru landhuis di land Dramaga diduga terkait dengan pemilik land Dramaga (keluarga van Motman) telah memperluas usaha (pertanian) dengan menyewa land Ciampea, land Cibungbulang dan Kawsan Sadeng/ Kawasann Panjawoengan (di sisi selatan sungai Cianten/sungai Cikaniki.

Landhuis adalah bangunan utama yang menjadi rumah dan sekaligus kantor pemilik tanah. Lokasi land biasanya berada di tempat paling strategis di dalam kawasan. Landhuis menjadi semacam ibu kota di dalam land. Kawasan tanah besar umumnya mendirikan pasar yang menyebabkan area sekitar landhuis tumbuh dan berkembang menjadi kota (town). Banyak kota-kota pada masa ini bermula dari area sekitar land (town) seperti kota Leuwiliang, kota Cigudeg, kota Parung, kota Depok dan kota Jasinga. Kota Bogor sekarang awalnya adalah sebuah kawasan tanah (land Bloeboer) yang dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda dari pemilik tanah di era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) untuk dijadikan kota (stad) pemerintah. Land atau tanah partikelir pada masa lampau semacam negara dalam negara.

Benteng Ciampea (1713)

Semua bermula dari dari benteng yang dibangun pada tahun 1710 sebagai perluasan pertahanan setelah sebelumnya benteng Sampoera (benteng Serpong) dibangun. Benteng dijaga oleh pasukan pribumi yang direkrut dari pulau lain yang dipimpin oleh seorang sersan Eropa/Belanda. 

Fungsi benteng adalah untuk menjaga keamanan dan memberi perlindungan kepada para pedagang VOC dalam melakukan transaksi dagang dengan penduduk pribumi. Benteng Ciampea menjadi simpul perdagangan yang pertama VOC di hulu sungai Tangerang (sungai Cisadane).

Karena saat itu tidak aman bagi VOC, terutama serangan dari kesultanan Banten, situasi menjadi tidak aman di sisi barat sungai Tangerang. Pemerintah VOC memperkuat palisade dengan membangun benteng Tangerang. Cornelis van Mook yang meneruskan usaha Cornelis Snock meningkatkan kanal irigasi di dekat benteng dengan membangun kanal pelayaran dari benteng Tangerang ke benteng Angke (Batavia). Kanal yang selesai dibangun tahun 1687 ini kemudian disebut kanal Mookervaart sesuai nama si pembuat (kini sungai yang berada di sisi jalan Daan Mogot antara Tangerang dan Pesing). Benteng Tangerang ini menjadi cikal bakal Kota Tangerang yang sekarang.

Sejak adanya kanal Mookervaart, lalu lintas (air) semakin lancar antara Batavia dan Tangerang. Para pedagang VOC secara perlahan-lahan semakin banyak yang mengikuti langkah Cornelis van Mook untuk membangun pertanian. Pada masa-masa inilah terbentuknya tanah-tanah partikelir (land). Land pertama yang dibentuk di daerah aliran sungai Tangerang adalah Land Tangerang, kemudian menyusul Land Babakan dan Land Tjikokal. Lambat laun jumlah land semakin banyak dan semakin meluas hingga ke Serpong. Pemerintah VOC kemudian membangun benteng di Serpong (Fort Sampoera). Segera setelah dibangun benteng di Serpong, pemerintah VOC pada tahun 1710 membangun benteng di Ciampea. Fungsi benteng di Ciampea lebih pada jangkar pertahanan ketika para militer melakukan eksplorasi ke wilayah barat mengikuti sungai Tjianten, sungai Tjiaruteun dan sungai Cikaniki. Fungsi benteng juga untuk melindungi para pedagang VOC yang melakukan transaksi hingga ke hulu sungai Tangerang/sungai Cisadane (perkembangan land baru, eksploitasi lahan sebatas benteng Tangerang dan benteng Sampoera (di Serpong).


Pada tahun 1713 benteng Ciampea diperkuat dengan memperluas pertahanan dengan membangun benteng baru di Panjawoengan. Hal ini setelah beberapa kali dilakukan ekspedisi ke daerah hulu sungai Cikaniki. Benteng Panjawoengan ini kini lokasinya berada di selatan sungai Cikaniki di kampong Panjaungan, desa Kalong, kecamatan Leuwisadeng. Sementara para militer melakukan eksplorasi wilayah ke arah pedalaman (hingga Djasinga), pusat perdagangan di Ciampea terus tumbuh. Pasar Ciampea menjadi pusat transaksi perdagangan utama di hulu sungai Tangerang (dari Sindang Barang di arah timur dan dari Leuwiliang/Leuwi sadeng di arah barat).

Pembentukan Kawasan Ciampea dan Dramaga (1778)

Setelah sejumlah benteng dibangun di hulu sungai Tangerang/sungai  Cisadane (benteng Serpong, benteng Ciampea dan benteng Panjawoengan /Leuwiliang ) mulai terjadi perdagangan yang intens di pedalaman. Namun pengembangan land baru terjadi hingga wilayah Serpong. Sebelum pembentukan land meluas ke hulu sungai Cisadane di Ciampea situasi telah menjadi tidak kondusif. Terjadi lagi ketegangan antara VOC/Belanda dengan (kesultanan) Banten.

Pada tahun 1750 an terjadi serangan dari kesultanan Banten di wilayah pedalaman. Situasi dan kondisi di daerah hulu aliran sungai Cisadane tidak kondusif. Para militer terus berupaya untuk mempertahankan wilayah.

Setelah ketegangan mereda di daerah hulu sungai Cisadane, pengembangan wilayah kembali diteruskan. Pada tahun 1778 pemerintah VOC/Belanda membentuk sejumlah land di hulu sungai Tangerang. Beberapa land yang dibentuk adalah land Dramaga dan land Ciampea. Lalu kemudian land Ciomas, Cibungbulan dan  Panjawoengan (kelak disebut daerah Leuwiliang). Pada tahun 1799 VOC bankrut dan kemudian diakuisisi kerajaan Belanda dengan membentuk pemerintah Hindia Belanda.

Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) pemerintahan Hindia Belanda membeli sejumlah land untuk dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan, termasuk untuk membangun kota Batavia, kota Buitenzorg dan kota Tangerang. Namun sebaliknya pemerintah juga menjual sejumlah lahan di daerah aliran sungai Tjitaroem dan daerah di sebelah barat sungai Tangerang. Lahan-lahan yang dijual ini dalam bentuk land. Land-land yang baru dibentuk di daerah hulu sungai Tangerang adalah land Curuk Bitung (saat ini menjadi  Nanggung), land Sadeng Djamboe (kini kecamatan Leuwisadeng), Pembentukan land ini juga mencapai sungai Cidurian yakni terbentuknya kawasan Bolang (kini kecamatan Cigudeg) dan kawsan  Janlappa (Jasinga).


Wilayah barat Buitenzorg lambat laun semakin berkembang dan kemudia pada tahun 1826 dibentuk pemerintahan  disrik dengan ibu kota di Jasinga (Jasinga hasil pemekaran dari kawasan Janlappa). Pada tahun 1829 jalan poros Buitenzorg-Rangkas Bitung dibangun melalui Ciampea, Leuwiliang, Leuwi Sadeng, Cigudeg dan Jasinga.

Kawasan Dramaga dan Keluarga van Motman (1808-1949)

Pada tahun 1799 VOC/Belanda dibubarkan lalu diakuisisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Meski demikian hal kepemilikan lahan masih berada di tangan swasta. 


Pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) seorang perwira militer Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman ditempatkan di Buitenzorg. Namun tidak lama kemudian kekuasaan beralih dari Belanda ke Inggris (pemerintahan pendudukan Inggris di bawah Letnan Gubernur Jenderal Raffles). Orang-orang Belanda ada yang kembali ke Belanda dan sebagian besar masih bertahan di Hindia meski rezimnya sudah berbeda. Banyak mutasi kepemilikan land. Pada masa  pendudukan Inggris inilah kemudian GWC van Motman membeli land Dramaga tahun 1812 dan mengusahakannya. 

Setelah berakhir era pendudukan Inggris yang digantikan kembali oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1817 GWC van Motman diangkat sebagai Residen pertama Preanger Regentschappen (yang berkedudukan di Buitenzorg dan kemudian ibu kota di geser ke Cianjur).

Setelah kekuasaan beralih kembali ke tangan Belanda pada tahun 1816 land-land juga diteruskan oleh pada pemilik. Land Dramaga tetap diusahakan oleh GWC van Motman. Pada tahun 1821 GWC van Motman meninggal dunia. Land Dramaga diteruskan oleh istrinya. Namun karena anak-anak alm. GWC van Motman masih kecil-kecil lalu land Dramaga dijual untuk membesarkan anak-anak di Batavia. Setelah dewasa anak-anak alm GWC van Motman kembali membeli land Dramaga.

Pada saat pembelian kembali ini keluarga van Motman membangun landhuis baru di lokasi landhuis dimana Wisma Tamu IPB sekarang. Landhuis land Dramaga yang lama sebelumnya berada di sisi sungai Cihideung di jalan raya Buitenzorg dekat jembatan ke arah desa Petir yang sekarang. Pemindahan landhuis ini diduga karena keluarga van Motman telah menyewa land Ciampea, land Cibungbulang dan land Panjawawoengan. Tujuan semua pengusahaan lahan ini (land Dramaga dan tiga land lainnya di sekitar) adalah untuk membangun perkebunan. 

Kawasan  Dramaga terus berkembang karena sangat subur dan bertopografi datar. Banyak sawah-sawah yang dikembangkan. Land Dramaga menjadi penyuplai beras untuk wilayah sekitar termasuk untuk kebutuhan beras di Buitenzorg.

Dramaga telah menghasilkan beberapa produk dalam keberadaannya. Salah satunya kopi. Sampai sekitar tahun 1868 gula juga dibuat. Ketika budaya itu tidak lagi menguntungkan, mereka beralih ke produksi teh. Pabrik gula terus ada, tetapi sejak saat itu digunakan untuk pembuatan teh. Saat itu, 400 kereta kuda tersedia untuk pengangkutan hasil bumi ke Batavia. Pada satu titik, teh, yang memiliki reputasi yang sangat baik, dihancurkan oleh wabah lalat hitam. Setelah itu, keluarga beralih ke produksi karet.

wisma landhuis tempo dulu
Keluarga van Motman di masa jaya

 

Keluarga van Motman juga semakin makmur. Dalam perkembangannya keluarga van Motman membeli kawasan Nanggung  dan Leuwisadeng.  Dalam perkembangan lebih lanjut Jasinga juga diakuisisi oleh keluarga van Motman (FHC van Motman).

Pada saat pendudukan militer Jepang semua tanah partikelir dihapus dan semuanya diambil alih oleh pemerintahan militer Jepang dengan cara proklamasi. Untuk wilayah sisi barat sungai Tangerang/sungai Cisadane proklamasi diadakan di land Gunung Sindoer pada bulan Juni 1942. Pada tanggal 17 Aguistus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. 

Namun tidak lama kemudian Belanda kembali. Pemerintah Hindia Belanda (NICA) mengembalikan status kepemilikan lahan pribadi dan land-land yang sebelum pendudukan Jepang dikembalikan kepada pemilik. Land Dramaga melalui wakil keluarga yang dalam hal ini oleh Pieter Reinier van Motman sebagai administrateur land Dramaga merayakan peresmian kembali land Dramaga yang diadakan di Batavia dengan mengundang tamu dari berbagai kalangan.

Namun dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda/NICA mengeluarkan kebijakan baru untuk membeli land-land yang ada dengan membentuk panitia pada bulan April 1949. Salah satu land yang termasuk yang diakuisisi oleh pemerintah NICA adalah land Dramaga. Berakhir sudah keberadaan Land Dramaga.

Pada akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia setelah disepakati perjanjian damai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil perjanjian itu berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan dibentuknya pemerintahan Indonesia (RIS), tuan pemilik lahan Dramaga tidak lagi Pemerintah Belanda, tetapi tuan yang baru, Pemerintah Indonesia.

Akhir Dari Dinasti Keluarga van Motman

Setelah pembebasan land Dramaga pada tahun 1949, perusahaan Onderneming Dramaga yang juga mengusahakan lahan di land Dramaga (sejak 1848) masih tetap dimiliki oleh keluarga van Motman, yang dalam hal ini diwakili oleh PR van Motman. Pengusahaan lahan Dramaga ini oleh keluarga van Motman masih terdeteksi hingga tahun 1954 . Namun kisah (eks land) Dramaga menjadi lain ketika PR van Motman diduga terlibat dalam tindakan subversif (melawan Pemerintahan Indonesia/RIS tahun 1950).


Satu kesalahan berat yang dilakukan oleh van Motman di Dramaga ikut memfasilitasi rencana para militer KNIL untuk menggulingkan Pemerintah Indonesia/RIS yang dimotori oleh Kapten Schmidt dan Jungschlager dengan cara melawan TNI. Gudang di kawssan  Dramaga dan di Serpong dijadikan tempat penyimpanan senjata. Kejadian yang terjadi pada bulan Maret 1950 diadili pada bulan September 1954. Pengadilan yang berlarut-larut ini pengadilan tinggi Indonesia telah menetapkan Jungschlager bersalah dan mendapat hukuman .

Dengan dinyatakannya Jungschlager tahun 1956 bersalah, maka tanah perkebunan Dramaga di bawah administrateur van Motman diduga dinyatakan telah ikut bersalah. telah melibatkan diri dalam hal upaya untuk menjatuhkan pemerintah (negara). Saat proses pengadilan Jungschlager ini, Pieter Reinier van Motman sudah berada di Australia.

Tanah Dramaga sebagai tanah partikelir yang dikuasai oleh keluarga van Motman sejak 1812 harus berakhir pada tahun 1949. Pengusahaan lahan Dramaga oleh keluarga van Motman berakhir sudah pada tahun 1956. Untuk sekadar catatan, land Dramaga dibentuk pada tahun 1778 dan pemiliknya diketahui tahun 1812 adalah Gerrit Willem Casimir (GWC) van Motman (kakek buyut PR van Motman). Serelah GWC van Motman meninggal pada tahun 1821, land Dramaga diteruskan oleh keluarga van Motman. Pada tahun 1956 lahan Dramaga diusahakan oleh generasi keempat (cicit GWC van Motman).

Setelah usaha (perkebunan) Dramaga disita oleh negara pada tahun 1956, lahan perkebunan itu dalam perkembangannya diketahui telah dihibahkan oleh negara untuk Institut Pertanian Bogor. Lahan dari onderneming Dramaga yang dikuasai oleh keluarga van Motman inilah kemudian yang menjadi lahan yang digunakan untuk pembangunan kampus baru Institut Pertanian Bogor. Satu yang masih tersisa di lahan kampus tersebut adalah bekas landhuis keluarga van Motman (yang kemudian diubah menjadi Wisma Tamu IPB Landhuis).

Pemberontakan Pieter Reinier boleh jadi akibat kecewa dengan pengakuan Kerajaan Belanda terhadap Indonesia, sementara wilayah Buitenzorg telah turut aktif dibangun oleh kakeknya GWC van Motman dan ayahnya JGT van Motman. Sebagai Indo (lahir dan besar di Hindia) tentu sulit melepaskan warisan (sejarah) dan lebih-lebih populasi marga van Motman (keturunan GWC van Motman) terbilang cukup banyak di Hindia. Hal-hal inilah diduga mengapa Pieter Reinier van Motman melakukan tindakan yang heroik dari sisi pandang keluarga van Motman tetapi berlawanan dari arus umum. Tapi celakanya itu menjadi noda dalam keluarga van Motman. Tentu saja itu karena faktor Jungschlager, yang kebetulan berasal dari Limburg seperti keluarga van Motman.

Meski dinasti Motman sudah berakhir, namun sejarah Dramaga belum berakhir. Sejarah itu kini dilanjutkan oleh IPB.

Sumber : http://poestahadepok.blogspot.com